...Rahasia Keampuhan Nasihat...
Bismillahi minal Awwali wal akhiri ... Bagi sebagian guru atau Ustadz,
kadang mereka merasakan kesulitan dalam menasihati murid-muridnya yang
membandel. Dan tidak sedikit pula para orang tua sekarang juga merasakan
begitu sulitnya menasihati anak. Bahkan kita sering menjumpai sang anak
justru sering membantah nasihat orang tuanya. Entah siapakah yang perlu
disalahkan dalam proses tarbiyah yang ‘gagal' seperti ini. Apakah
mereka (para guru, ustadz atau orang tua) yang gagal memahami retorika
menasihati anak? Ataukah anak-anak sekarang memang sulit menerima
nasihat, karena saking parahnya
kerusakan pergaulan masa kini?.
Sementara itu, kita kadang merasa tersentuh hati tatkala mendengarkan
nasihat-nasihat berharga dari seorang ustadz atau orang yang kita
hormati lainnya. Namun di saat yang lain, hati kita seolah-olah tidak
bisa tersentuh dengan nasihat. Kata-kata yang meluncur dari lisan guru,
ustadz, orang tua, atau mungkin teman dekat kita terasa hambar di
telinga. Pepatah mengatakan "ibarat masuk telinga kanan keluar dari
telinga kiri" artinya nasihat itu berlalu begitu saja tanpa sempat
mengendap di hati. Kenapa hal ini bisa terjadi? Apakah hati kita sudah
kadung keras, hingga sulit menerima nasihat? Ataukah orang yang memberi
nasihat, kurang pintar mengolah kata?
Memang hati yang keras
itu biasanya sulit menerima nasihat dan ilmu. Tapi sebuah nasihat itu
akan lebih mudah diterima, manakala sang pemberi nasihat memiliki power
of spiritual atau kekuatan spiritual berupa kejujuran dalam memberikan
nasihat. Kejujuran nasihat yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah
kesesuaian antara yang di ucapkan dengan yang diamalkan.Dan kita semua
sepakat bahwa nasihat itu akan lebih mengena dan menyentuh hati, kalau
betul-betul bersumber dari hati yang ikhlas.
Ada kisah menarik
yang bisa kita ambil hikmahnya berkaitan dengan permasalahan ini.
Diceritakan bahwa Hasan Al-Basri duduk dalam majelisnya, dan biasanya
setiap hari ia sering mengadakan majelis ditempat itu juga. Adapun Habib
Al-Ajami duduk dalam majelisnya yang biasanya majelis itu sering
didatangi oleh ahli dunia dan perdagangan. Ia lalai dengan menjelis ilmu
yang diadakan oleh Hasan Al-Basri, dan ia tidak menoleh sedikitpun
dengan apa yang disampaikan oleh Hasan Al-Basri. Hingga suatu hari ia
ingin mengetahui apa yang disampaikan Hasan Al-Basri, maka dalam hati ia
berkata: "Dalam majelis Hasan Al-Basri diceritakan tentang surga,
neraka dan manusia diberi semangat untuk mendapatkan akhirat, dan
ditanamkan sikap zuhud terhadap dunia (memfokuskan segala karunia Allah
untuk akhirat)". Maka perkataan ini menancap dalam hatinya, lalu ia pun
berkata: "Mari kita mendatangi majelis Al-Hasan Al-Basri!" Orang-orang
yang duduk dalam majelis ilmu berkata kepada Hasan Al-Basri: "Wahai Abu
Said ini adalah Habih Al-Ajami menghadap kepadamu, nasehatilah ia."
Lalu Habib Al-Ajami menghadap Hasan Al-Basri, dan Hasan Al-Basri pun
menghadap kepadanya kemudian menasehati Habib Al-Ajami, ia ingatkan
dengan Jannah, ia takut-takuti dengan neraka, ia hasung untuk melakukan
kebaikan, ia ingatkan untuk berlaku zuhud di dunia.
Maka Habib
Al-Ajami pun terpengaruh dengan nasehat itu, dan langsung bersedekah 40
ribu dinar. Ia pun berlaku qona'ah (menerima) dengan hal sedikit, dan ia
terus beribadah kepada Allah hingga meninggal dunia. [Hilyatul Aulia
6/149 dengan sedikit perubahan, dan lihat Siyar ‘Alamun Nubala 6/144]
Dari sepenggal kisah di atas, kita melihat kejujuran Hasan Al-Basri
(semoga Allah merahmati beliau) dalam dakwahnya, selamatnya tujuan
dakwahnya, hingga nasihatnya membekas dalam hati Habib Al-Ajami. Nasihat
yang jujur itu telah memindahkannya dari riuh suara di pasar dan
perdagangan, hingga menjadi sorang ahli ibadah dan ahli zuhud yang
mempunyai do'a yang mustajab (doa yang dikabulkan) dan karamah yang
mulia. Ia seorang ahli bersedekah dan berinfak di jalan Allah Ta'ala.
Alangkah indahnya perkataan Malik bin Dinar mengenai hal ini:
"Kejujuran itu nampak dalam hati yang lemah, lalu pemilik hati itupun
mencarinya, dan Allah menambahnya hingga menjadikannya berbarakah pada
dirinya, dan menjadilah perkataan/nasihatnya itu obat bagi orang-orang
yang bersalah". Lalu Malik berkata: "Hasan Al-Basri, Said bin Jubair dan
semisal mereka itu, adalah mereka yang Allah hidupkan perkataannya
kepada sekelompok manusia" [Hilyatul Aulia 2/359]
Begitu pula
tatkala Zainal Abidin Ali bin Al-Husain mendengar nasehat Hasan
Al-Basri, maka ia pun berkata: "Maha suci Allah ini adalah perkataan
orang yang jujur" [Akhbarul Hasan Al-Basri Li Ibnul Jauzi hal. 2]
Salah seorang ulama ditanya: "Mengapa perkataan Salafus Shalih lebih
bermanfaat dari perkataan kita?" Maka ia pun menjawab : "Karena mereka
berbicara untuk kemuliaan Islam, untuk keselamatan jiwa, untuk mencari
ridho Allah Yang Maha Pemurah, sedangkan kita berbicara untuk kemuliaan
diri, mencari dunia dan mencari keridhaan mahluk" [Sifatu Sofwah karya
Ibnul Jauzi 4/122]
Dan diantara sebab-sebab seseorang
mendapatkan manfaat dari nasehat-nasehat Hasan Al-Basri dan dari
majelis-majelisnya, bahwasanya Al-Hasan Al-Basri (semoga Allah merahmati
beliau) adalah panutan yang baik, dan tidaklah termasuk orang-orang
yang mengatakan apa yang tidak ia kerjakan.
Dikatakan kepada
salah seorang dari teman Hasan Al-Basri: "Apakah sesuatu yang
menyebabkan Hasan Al-Basri mencapai kedudukannya seperti ini? Padahal di
antara kalian terdapat para ulama dan ahli-ahli fikih? Teman Hasan
Al-Basri itupun berkata: "Adalah Al-Hasan Al-Basri jika memerintahkan
suatu perkara maka ia adalah seorang manusia yang paling mengamalkan
terhadap apa yang ia perintahkan, dan jika ia melarang dengan suatu
kemungkaran maka ia adalah seorang manusia yang paling jauh meninggalkan
larangan itu" [Tablis Iblis karya Ibnul Jauzi hal. 68].
Begitulah Hasan Al Basri dengan kejujurannya dalam memberikan nasihat.
Nasihat yang jujur akan mampu menyentuh dan menggerakkan hati setiap
pendengarnya. Dan Allah SWT mengingatkan orang yang tidak jujur dalam
nasihatnya dengan firman-Nya, "Mengapa kamu suruh orang lain
(mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)-mu
sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu
berpikir?" (QS. Al Baqarah/2 : 44).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar